English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Jumat, 29 Januari 2010

BISNIS BASAH BERBAU LENDIR

Berapa penghasilan pajak dari prostitusi seandainya dikenakan pajak? Ternyata besar sekali. “Bisnis birahi” yang makin hari makin menggila itu bisa meraup sedikitnya Rp 12 triliun. Kok bisa?
Industri apa yang tidak kenal kata resesi? Jawabnya :industri seks.
Sebenarnya disebut industri seks kok kayaknya kurang tepat karena secara hukum bisnis berbau lendir itu jelas-jelas ilegal. Tapi pada praktiknya sangat terlihat halal. Buktinya prostitusi ada dimana-mana,dari yang kelas bawah,kelas menengah,sampai kelas atas...dari kelas terminal,statsiun,tempat lokalisasi,motel kelas teri,panti pijat,sauna,salon,karaoke,sampai club. Saya lebih suka memakai istilah “wisata birahi” untuk memberikan gambaran tentang praktek rekreasi yang ditawarkan sejumlah tempat yang ujung-ujungnya bermuara pada transaksi seksual.
Bisnis “wisata birahi” tidak saja menjamur di tiap sudut kota besar seperti Jakarta....tapi bahkan dipojok-pojok kota besar lainnya seperti Surabaya,bandung,Semarang,Medan,Batam. Jakarta misalnya,punya kawasan Kramat Tunggak yang menjadi kawasan prostitusi kelas bawah. Surabaya sangat terkenal dengan kawasan Dolly-nya yang disinyalir menjadi tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Yogyakarta terkenal dengan Sarkem-nya alias Pasar Kembang. Semarang ada daerah Sunan Kuning. Bandung punya Saritem.Purwokerto punya Baturraden,dan di Solo ada kawasan Silir. Hampir di setiap kota,entah ditingkat kabupaten sampai propinsi,punya kawasan sendiri yang dikenal masyarakat umum sebagai tempat prostitusi.
Tempat-tempat lokalisasi seperti disebutkan diatas bisa dideteksi sebagai ajang prostitusi karena transaksi seksnya berlangsung sangat terang-terangan. Tempatnya jelas ada di mana,berapa jumlah PSK-nya,tarif yang dikenakan dan segala data lain tidak terlalu sulit untuk menghimpunnya.
Yang jadi persoalan adalah bisnis”wisata birahi” yang ada di kota-kota besar di tanah air yang pada prakteknya menggunakan kedok-kedok terselubung,misalnya panti pijat,motel,hotel,sauna,salon,klub,diskotek,dan lain sebagainya. Label yang dipakai memang tempat hiburan,tempat perawatan dan tempat kebugaran,tapi diam-diam menjadi tempat transaksi seks.
Dan dari data yang saya temukan di lapangan selama ini,ternyata wisata birahi secara tertutup ini jumlahnya malah lebih dahsyat dari tempat prostitusi yang terang-terangan seperti Dolly dan Kramat Tunggak.
Panti pijat di Jakarta misalnya,jumlahnya ada ratusan. Tapi yang praktek sebagai panti pijat betulan jumlahnya hanya sekitar 10-20% saja. Sisanya adalah panti pijat “langsung enak” yang menawarkan jasa kencan seks. Belum lagi praktek-praktek bisnis wisata birahi yang ditawarkan oleh karaoke,klub,sauna,diskotek,salon,motel,sampai hotel.
Kalau sejumlah tempat lokalisasi seperti Kramat Tunggak atau Pejompongan Indah di Jakarta rame-rame ditutup,disisi lain praktek-praktek hiburan dan transaksi seks di tempat-tempat hiburan semakin meningkat dan tumbuh subur. Berulang-ulang ditertibkan selalu saja muncul tempat-tempat baru. Maklum,bisnis basah yang berbau lendir ini tidak hanya menjadi mata pencaharian bagi orang-orang pelakunya saja melainkan sudah menjadi mata rantai yang panjang.
Saat saya terjun langsung mencari data ke daerah-daerah wisata birahi,saya mengkalkulasikan bahwa peredaran uang di bisnis seks di Indonesia jumlahnya mencapai angka US$ 3,3 miliar atau mencapai lebih dari 10 triliun. Angka ini paling tidak memperlihatkan peran industri seks setara dengan 2,4% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto( PDB).
Dan data itu hanya menghitung dari pekerja seks di lokalisasi,belum lagi kalau kita menghitung pekerja seks yang tidak terdaftar dan tidak terdeteksi,terutama kalangan” Call girls” papan atas.
Dari data Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial Departemen Sosial tahun 1997,menyebutkan di seluruh Indonesia ada 72.724 wanita tuna susila yang terdaftar. Dari data itu diestimasikan yang tidak terdaftar adalh 1.5 kali dari yang terdaftar,dan itu adalah data 13 tahun yang lalu.
Mereka pun terbagi menjadi empat kelompok berdasarkan penghasilan dan fasilitas untuk para pekerjanya. Untuk para pekerja seks kelas bawah jumlahnya diperkirakan mencapai 125 ribu orang,mereka ini pekerja seks yang mangkal di lokalisasi semacam Kramat Tunggak dan Dolly. Fasilitas disana sangat minim,dan mereka kebanyakan melayani kebutuhan seks kelas bawah dengan biaya transaksi”short time” nya sekitar 30-75 ribu.
Sementara untuk pekerja seks kelas menengah jumlahnya diperkirakan sekitar 123 ribu dengan tarif yang lebih tinggi. Rata-rata mereka beroperasi di hotel-hotel kelas melati,panti pijat plus kelas menengah atau PSK yang biasa mangkal di sejumlah jalan besar di Jakarta seperti Bulungan,Taman Sari, Grogol,Lapangan Banteng dan Monas. Mereka biasanya memasang tarif sekitar 100-250 ribu.
Kelas ketiga,pekerja seks kelas atas diperkirakan ada sekitar 42 ribu,kelompok ini bisa mengantongi bayaran sekitar 800 ribu samapai 2-3 juta untuk sekali transaksi. Sementara untuk kalangan pekerja seks kelas tinggi yang masuk golongan PSK papan atas jumlahnya sangat sulit ditebak,bukannya apa-apa,mereka diatur secara cermat dan punya jaringan bisnis yang sangat rapi dan “undercover”. Mereka melayani kelompok masyarakat kelas elit sampai golongan pejabat dan pengusaha,biasanya mereka datang dari kalangan artis,bintang iklan,model,petugas asuransi,call girl piaraan,sekretaris,mahasiswi sampai pelajar SMU.
Modus transaksi yang paling sering digunakan adalah SDC (shopping date,dinner date dan check-in date).soal berapa harga patokan transaksi memang tidak ada patokan yang pasti tapi estimasi berada di atas angka 25 juta sampai jumlah yang tak terbatas nominalnya.
Dalam perhitungan matematika,apabila setiap pekerja seks itu mendapat pelanggan 40 orang setiap bulan,maka kurang lebih total uang yang didapat adalah Rp 1,246 triliun dalam sebulan!!! Tentu saja itu adalah jumlah yang sangat fantastis,apalagi bila jumlah itu dikorelasikan dengan perkembangan industri seks yang terus berkembang pesat. Bisa-bisa mencapai jumlah 2 kali lipat.
Indonesia tidak seperti Thailand yang melegalisasikan prostitusi. Di Thailand otomatis ada pajak yang dikenakan pada bisnis basah berbau lendir ini.... Data tahun 1986 saja seperti ditulis Thanh-Dam Truong menunjukan jumlah kedatangan wisatawan untuk menikmati wisata birahi di Thailand mencapai 2.818.092 orang dengan total pendapatan negara sebesar 37.321 juta Bath. Itu data tahun 1986...sekarang...? Pastinya jauh lebih besar lagi.
Karena Indonesia tidak melegalisasi praktek prostitusi,jelas tidak ada pajak yang dikenakan,lalu jumlah uang yang beredar yang sudah pasti sangat besar itu masuk kemana?

Sumber tulisan:
1. Terence T.Hull, Endang Sulisyaningsih & Gavin W. Jones,Pelacuran di indonesia:Sejarah dan Perkembangannya,diterbitkan oleh Pustaka Sinar
Harapan bekerja sama dengan Ford Foundation.
2. Tanh Dam Truong,Seks,Uang dan Kekuasaan,diter
bitkan oleh LP3S,Juni 1992


Mikaela060110

1 komentar: