English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Minggu, 29 November 2009

Bukti Obama adalah seorang Yahudi

Bukti Obama Seorang Yahudi
Sunday 29th November 2009 05:17am 1
erfin
erfin
139 Posts

* Sign up now


Bukti Obama Seorang Yahudi
Selasa, 10/02/2009 06:55 WIB Cetak | Kirim | RSS

(Obama memakai Yarmulke, topi orang Yahudi)

1. Barrack, nama pertama Obama, adalah nama Yahudi yang berasal dari ayat "baruch". Kebanyakan ahli ibadat Yahudi menggunakan nama "baruch"sebagai nama pertama mereka. Bekas perdana menteri Israel Ehud Barak juga mengambil nama pertamanya "baruch". Nama kedua Obama juga hampir sama dengan "Ahabah". Bent Ahabah adalah nama untuk sinagog.

2. Ketika berusia 10 tahun, Obama pernah ke sekolah sosialis Yahudi atau disebut "kibbutz".

(Obama didampingi oleh seorang Master Jew)

3. Obama mendapat sejumlah 77% suara dari Yahudi ketika pemilihan umum AS kemarin . Tahun 2004, John Kerry hanya mendapat 74% suara dari pemilih Yahudi. Pada tahun 2000, Al Gore paling banyak mendapat suara Yahudi yaitu sejumlah 79%. Obama mendapat banyak suara Yahudi di Connecticut dan Massachusetts . Di Connecticut, 61% Yahudi menyokong Obama. Yahudi mulai suka pada Obama kerana banyak kenyataan Obama secara terbuka menyokong rejim Israel .

4. Ketika Obama terpilih menjadi Presiden AS, hampir semua orang di dunia bergembira karena ia diyakini akan membawa banyak perdamaian untuk dunia internasional. Tapi banyak pula yang tidak sadar jika selama ini rekor peperangan yang dibuat oleh Demokrat jauh lebih banyak dari Republikan, dan Obama adalah seorang Demokrat tulen. Banyak yang percaya Obama tidak jauh berbeda dengan Bush. Malah banyak yang menyebut Obama sebagai "Bush Kulit Hitam".

(Rangkaian terkahir Obama sedang melakukan ritual Yahudi pada dinding Monument Jew. Perbuatan ini dilakukan oleh orang Yahudi untuk menyampaikan pesan rahasia sesama orang Yahudi saja).

5. Obama mengangkat Rahm Emanuel (seorang Yahudi, anak seorang Israel ) menjadi White House Chief Of Staff. Mentor Obama sendiri yaitu Abner Mikva menyatakan "Obama will be the first Jewish President Of USA! " dalam Jerusalem Post pada 5 November 2008.

6. Obama menganggarkan $30 milyar bantuan AS kepada Israel. Jumlah yang sangat banyak dan juga banyak dikritik pengamat ekonomi negaranya.

(sa/berbagaisumber)

Sabtu, 28 November 2009

Cinta yang membahagiakan

- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:

لاَ حَسَدَ اِلاَّ فِى اثْنَينِ: رَجُلٌ أتَاهُ اللهً مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الحَقِّ, وَرَجُلٌ أتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. متفق عليه

Artinya:

Tidak ada yang patut diharapkan kecuali dalam 2 macam, yaitu Seseorang yang dikaruniai Allah dengan harta kekayaan lalu Allah menguasakan padanya untuk menafkahkannya sampai habis dalam hak dan seseorang yang dikaruniai Allah dengan ilmu pengetahuan lalu ia menghukumi dengan ilmu itu dan mengajarkannya. ( Hadits yang telah disepakati).

Maksud singkat :

Hasad itu ada 2 macam :

Hasad dalam arti Iri hati atauكَرَاهِيَةُ النِعْمَةِ لِلْغَيرِ(tidak senang hati karena ni’mat yang ada pada orang lain). Hasad ini telah disepakati para ulama bahwa hukumnya Haram,karena itu jauhilah. Hasad ini merupakan salahsatu penyakit hati yang mesti segera disembuhkan.

Hasad yang berarti “mengharapkan atau tertarik”, seperti sesuatu ni’mat yang ada pada orang lain tanpa ada rasa tidak senang hati karena ni’mat yang ada pada orang lain itu. Dalam istilah sunda “Kabita”. Hasad yang kedua ini hukumnya mubah atau diperbolehkan. Hasad yang kedua inilah yang dimaksud dalam hadits diatas. Jadi kandungan singkatnya adalah tidak ada yang harus diharapkan kecuali dalam 2 macam, yaitu Orang kaya yang menafkahkan harta kekayaannya sampai habis di jalan Allah, dan orang berilmu pengetahuan lalu dia menghukumi dengan ilmu itu. Yakni menghukumi dirinya sesuai dengan ilmunya atau mengamalkan ilmunya serta mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain.



Mengapa kita harus tertarik dengan 2 macam ini ? Jawabannya dalam hadits tadi ada sesuatu yang disembunyikan, yaitu “pahala”. Jadi tertariklah kamu dengan 2 macam tadi karena pahalanya besar.

Karena itu jadilah kamu orang kaya yang mau bersyukur dengan hartanya, yakni menafkahkan hartanya sampai habis di jalan Allah. Jadilah kamu orang berilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, pasti kamu akanmendapat pahala yang besar.

- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:

وَمَا اْجْتَمَعَ قَومٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُم اِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ المَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. رواه مسلم.

Artinya: Tidak semata-mata berklumpul suatu kaum di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Quran dan mempelajarinya diantara mereka, kecuali turunlah kepada mereka ketenangan, meliputi kepada mereka rahmat Allah mengelilingi kepada mereka para malaikat dan Allah menceritakan mareka kepada makhluq yang ada di sisiNya. ( HR. Muslim)

Maksud singkat:

Bahwa bnetapa besar pahala danimbalan membaca dan mempelajari Al-Quran, apalagi kalau dibaca dan dipelajarinya di kalangan orang banyak dan diselenggarakan di masjid. Jaminan bagi mereka dari Rasulullah adalah :

Mereka akan mendapatkan ketenangan.

Mereka akan diliputi rahmat yakni karunia dan kebajikan Allah

Mareka akan dikelilingi para malaikat sebagai tanda penghormatan.

Allah akan menceritakan mereka kepada makhluq Nya yang lain, yaiotu malaikat sebagai tanda pujian Allah kepada mereka yang membaca dan mempelajari Al-Quran di mesjid secara bersama itu.



- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:

أفْضَلُ الاِيمَانِ أنْ تَعْلَمَ أنْ اللهَ مَعَكَ حَيْثُ مَا كُنْتَ. رواه الطبرانى

Artinya:

Iman yang paling utama adalah bahwa kamu yakin ssungguhnya Allah beserta kamu dimana saja kamu berada. (H.R Thabroni)

Maksud singkat:

Bila kita yakin bahwa Allah senantiasa beserta kita yakni maha melihat kita, niscaya kita tidak akan berani melakukan perbuatan dosa, sebab kita takut akan siksaNya. Sebaliknya senantiasa kita akan melakukan perbuatan baik dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah.

Bila perasaan kita senantiasa di lihat Allah dengan pengertian di atas tadi, niscaya kita telah meiliki iman yang utama. Jadi orang yang memiliki keutamaan iman, senatiasa dia akan merasa di awasi Allah dan karenanya dia tidak akan berani sengaja melakukan dosa dalam keadaan bagaimana pun, bahkan sebaliknyadia akan lebih giat melaksanakan amal-amal yang baik semata-mata karena Allah.

- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ. رواه البيهقى

Artinya:

Jadikanlah yang lima macam kesempatan baik sebelum yanglima, yaitu: hidup kamu sebelum mati, sehat kamu sebelum sakit, waktusenggang kamu sebulum sibuk, masa muda kamu sebelum tua dan masa kaya kamu sebelum fakir. (H.R Baihaqi).

Maksud singkat :

Jadikanlah keadaan yang lima macam tadi kesempatan baik untuk berbuat baik kepadaNya (ibadah dengan pengertian yang luas) sebelum yang lima menimpa kita. Sebagai contoh “ Masa kayamu sebelum fakir “ maksudnya pergunakanlah kekayaan mu itu di jalan Allah agar mendapatkan pahala yang banyak, dengan cara sidqah atau harta tersebut di pakai biaya untuk mencari ilmu. sebab kalau kefakiran datang, kita tidak mungkin dapat melakukan hal itu.

-اَلدُّعَاُء الوَارِدُ مِنْ رُسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.(Do’a yang diajarkan Rasulullah Saw )

اَللّهُمَّ ارْزُقْنِي حُبّكَ وَحُبَّ مَنْ يَنْفعُنِي حُبُّهُ عِنْدَكَ. اَللّهُمَّ مَا رَزَقْتَنِي مِمَّا اُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لِي فِيمَا تُحِبُّ. اَللّهُمَّ وَمَازَوَيتَ عَنِّي مِمَّا اُحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغًا لِي فِيمَا تُحِبُّ.

Artinya:

Ya Allah berilah aku rizqi mencintaimu dan mencintai orang yang bermanfaat bagiku mencintainya, Ya Allah apa saja yang Engkau rizkikan padaku dari sesuatu yang aku inginkan, jadikanlah semua itu kekuatan bagiku dalam sesuatu yang Engkau ridhoi, Ya Allah apa saja yang Engkau lewatkan dariku dari sesuatu yang aku inginkan, jadikanlah semua itu kesenangan bagiku dalam sesuatu yang Engkau meridhoinya.

Maksud Do’a:

1. اَللّهُمَّ ارْزُقْنِي حُبَّك, Yakni Berilah aku rizqi mencintaim Cinta kepada Allah ini bisa terlihat pada sikap kita masing-masing, yaitu senantiasa kita ingat kepadaNya, karena itu kita senantiasa menyebut-nyebut namaNya dan melaksankan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.

2. وَحُبَّ مَنْ يَنْفعُنِي حُبُّهُ عِنْدَكَ,Yakni berilah aku rizqi mencintai siapa saja yang dengan mencintainya bermanfaat bagiku. Umpamanya ; kita mencintai seseorang, lalu orang itu dekat kepada kita dankita sering memberi nasihat kepadanya, sehingga dia menjadi orang baik. Cinta kita kepadanya itu bermanfaat bagi kita sebab kita akan mendapat pahala dari Allah. Atau sebaliknya kita yang diberi nasihat oleh dia yang kita cintai. Dan lain-lain pokoknya perasaan cinta terhadap seseorang yang menjurus kepada kebaikan menurut Allah dan RasulNya.

3. اَللّهُمَّ مَا رَزَقْتَنِي مِمَّا اُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لِي فِيمَا تُحِبُّ, Yakni Semoga segala sesuatu yang di rizqikan Allah kepada kita dan segala sesuatu yang kita inginkan menjadi bekal dan kekuatan kita untuk mencapai segala sesuatu yang diridoi Allah. Tegasnya apa-apa yang dirizqikan Allah,kita gunakan dijalanNya.

4. اَللّهُمَّ وَمَازَوَيتَ عَنِّي مِمَّا اُحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغًا لِي فِيمَا تُحِبّ.yakni segala sesuatu yang kita menginginkannya namun Allah melewatkannya dari kita . tegasnya Allah tidak memberikannya kepada kita, semoga semua itu menjadi kesenangan bagi kita atau hal yang diridoi Allah. Tegasnya semoga Allah menggantikannya dengan sesuatu ya Dia meridoinya dan kita merasa senang dengannya.

Katakan Cinta

Hadist Tentang Cinta

Disunnahkan orang yang mencintai saudaranya karena Allah untuk mengabari & memberitahukan cintanya kepadanya. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Ia berkata hadist ini hasan dari Miqdad bin Ma’di dari Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah, maka kabarkanlah bahwa ia mencintainya.”

Hadist riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Anas bin Malik:

Ada seorang laki-laki berada di dekat Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kepadanya lewat seorang laki-laki lain. Laki-laki yang di dekat Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam! Sungguh aku mencintainya.” Maka Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah memberitahukannya?” Ia menjawab, “Belum” Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukanlah kepadanya!” Kemudian ia mengikutinya dan berkata, “Sungguh aku mencintaimu karena Allah.” Laki-laki itu pun berkata: “Semoga engkau dicintai Allah, yang karena-Nya engkau mencintaiku.”

Hadist riwayat Al-Bazaar dengan sanad hasan dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang mencintai seseorang karena Allah, kemudian seseorang yang dicintainya itu berkata, “Aku juga mencintaimu karena Allah.” Maka keduanya akan masuk surga. Orang yang lebih besar cintanya akan lebih tinggi derajatnya daripada yang lainnya. Ia akan digabungkan dengan orang-orang yang mencintai karena Allah.”

Rabu, 25 November 2009

Aurat wanita

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

Definisi Aurat

Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).

Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”

Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.

Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“

Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”

Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;

“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”

Batasan Aurat bagi Wanita

Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy

Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;

“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”

Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;

“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”

Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;

“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”

Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;

” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”

Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;

“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.

Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;

” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy

Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;

“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]

Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa

” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”

Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;

“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy

Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.

Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”

Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”

Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy

Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;

“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]

Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;

“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]

Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan

Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]

Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]

Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.

Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].

Syarat-syarat Menutup Aurat

Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”

Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah

Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.

Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan.

Liberalisasi 2

Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awa tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).1

Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Far from being something Christians should be against, secularization represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it).2

Buku “The Secular City” termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.4 Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam – sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.5

2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya, termasuk bidang agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang.

Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi, jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa – asal persebaran Kristen – cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Di Indonesia, bahkan, di Fakultas Syariah IAIN Semarang, sejumlah mahasiswanya juga melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Kristen. Ini bisa dibaca pada bagian selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.

3. Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.6

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka:

a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)

Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”

b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama” (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. Ia menulis bahwa “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.”

Budhy menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” 8

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” 9

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.

Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.” 10

Nurcholish Madjid juga menulis:
“Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” 11

e. Dr. Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” 12

f. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”

g. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)

h. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.” 13

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 14

Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis: “Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah. 15

3.2. Relativisme kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” 16

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:

“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.” 17

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :

‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. 18

Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:

‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’19

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.” 20

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. 21

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. 22 Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. 23

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan, tulis Stevri Lumintang:

‘’…Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru….’’ 25

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

3.3. Liberalisasi al-Quran
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.

Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan:

“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran.” 26

Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Quran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani.27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” 28

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran:

“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” 29

Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-Quran adalah perangkap bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang:

“Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” 30

Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah karangan Muhammad:

“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu). 31

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:

“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” 32

Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.

Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33

Kaum Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan ilmu tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?

3.4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode ‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

liberalisasi

Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh utama, sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan.
Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat harus menetapkan musuh baru, sebagai pengganti komunisme.

Maka, para aktivis neo-konservatif (kalompok Kristen fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, dan ilmuwan neo-orientalis), berhasil menjalankan agenda internasional pasca Perang Dingin.

4. Faktor Asing
Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam).

Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan Muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok berbasis Muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan warga kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama, TAF juga bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya.

Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asia Foundation, diantaranya:

- Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah)
- Lembaga Studi Agama dan Demokrasii (Elsad) – (Pluralisme Agama dan Demokrasi)
- Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality)
- Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi
- International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama)
- Indonesia Conference on Religion and Peace – (ICRP) (Pluralisme agama)
- Institut Arus Informasi (ISAI) – (Pluralisme dan Jurnalisme)
- Jaringan Islam Liberal (JIL) – (Liberalisasi Pemikiran)
- Paramadina – (Pluralisme agama)
- Pusat Studi Wanita – UIN - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) – (Penerbitan buku-buku pluralisme)
- Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah )
- Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama)
- Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.


Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah memo:

“AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).

Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki tangannya di Indonesia, berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Secara moral, mereka sebenarnya telah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Di tengah kemiskinan dan pemiskinan masyarakat Indonesia oleh kekuatan imperialisme global, mereka bukannya menolong Indonesia untuk mengurangi beban utangnya, atau membantu pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi, tetapi malah menyebarkan racun paham Pluralisme Agama dan penghancuran syariat Islam, di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Jika mereka memang bermaksud baik, seharusnya, dana mereka itu digunakan untuk membantu permodalan pedagang-pedagang kecil, mengurangi beban utang luar negeri, beasiswa anak-anak miskin terlantar, pembangunan air bersih bagi pondok pesantren, dan sebagainya, tanpa merusak aqidah dan keimanan kaum Muslim. Jika Barat penghargai pluralitas dan perbedaan antar umat manusia, mestinya mereka tidak memaksakan ideologi dan pandangan hidup mereka kepada umat manusia. Mestinya mereka menghargai keberagaman dan membiarkan umat Islam hidup dengan pandangan hidupnya dan syariatnya sendiri. Tetapi, sayangnya, Barat saat ini terlalu ketakutan terhadap Islam (Islamofobia), sehingga apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing agen Barat di Indonesia ini jauh lebih buruk dari apa yang dikerjakan oleh Belanda dan VOC di masa lalu, yang tidak ikut campur tangan dalam kurikulum pondok pesantren.

Tapi, sayangnya, ada saja sebagian kalangan umat dan lembaga Islam yang terpengaruh oleh iming-iming duniawi dari lembaga-lembaga asing yang sedang bergentayangan mencari mangsa bersama para kaki tangannya di Indonesia.

5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.

Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.

Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:

“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” 46

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadis Nabi Muhammad saw, Harun menulis : “Berlainan halnya dengan Al-Quran, hadis tidak dikenal dicatat tidak dihafal di zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadis dari Nabi.” 47

Sekilas saja mencermati kata-kata Harun tersebut jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi saw. Juga, tidak benar, bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah al-Quran. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadis sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.

Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’ — ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.” 48

Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras, bahwa: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.” 49

Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional.

Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:

“Karena itu, beliau perlu diteladani oleh para intelektual maupun generasi berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia. Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan Kuntowijoyo…Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. 50

Meskipun bukan bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan memberikan pujian berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun Nasution:

“Usaha dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan Islamic Studies di Indonesia patut dihargai. Harun seyogianya dianugerahi sebagai tokoh Islamic Studies di Indonesia.” 51

Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku IDBA Harun Nasution itu sebenarnya juga sudah perlu direvisi total. Tapi, sekali lagi, kesalahan yang fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang isinya mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan secara terus-menerus dalam rentang begitu lama, bisa dipahami, jika kerusakan yang diakibatkan ‘virus’ itu sudah semakin parah dan menular ke mana-mana. Entah kenapa, masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Setahu penulis, hingga kini, belum ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara resmi meminta pemerintah menarik kembali buku IDBA Harun Nasution tersebut.

PENUTUP
Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam. Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman dimana yang haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.

Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan:

“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga sabda beliau saw:

“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.

Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik aqidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.

Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.”

Pendidikan mahal

Bertolakbelakang dengan ideologi Kapitalisme yang meminimalkan peran negara, ideologi Islam justru menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan urusan-urusan masyarakat. Rasulullah saw. menegaskan:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertangunggjawaban atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin (kepala Negara) adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Di antara pengurusan rakyat adalah pendidikan. Jadi, dalam Islam negara berkewajiban memelihara urusan pendidikan rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan pendidikan kepada swasta. Negara justru harus bertanggung jawab penuh atas masalah pendidikan rakyatnya.

Lebih dari itu, Islam menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat secara umum yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam. Prinsip dasar ini jelas bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini.

Berdasarkan pinsip ini, jika negara lalai atau abai terhadap masalah pendidikan rakyat maka kelalaian itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, dan tentu saja penguasa berdosa karenanya. Prinsip inilah yang menjadikan para pemimpin dalam Islam selalu fokus terhadap pendidikan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini.

Rasul saw. langsung mendidik masyarakat. Beliau juga mengangkat orang-orang yang bertugas memberikan pengajaran kepada masyarakat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Hisyam di dalam Sîrah Ibn Hisyâm, Rasul juga pernah menjadikan tebusan bagi tawanan Perang Badar dalam bentuk mengajari anak-anak kaum Anshar membaca dan menulis. Untuk semua itu masyarakat tidak dipungut biaya sepeser pun. Prinsip itu pula yang mendorong para khalifah setelah beliau membangun berbagai fasilitas pendidikan secara cuma-cuma untuk rakyat. Penyelenggaraan pendidikan berkualitas disediakan untuk rakyat yang menginginkannya tanpa dipungut biaya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’tashim billah, Khalifah al-Mustanshir, Sultan Nuruddin dan para penguasa Islam lainnya sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Wajar jika sepanjang kekuasaan Kekhilafahn Islam, lahir banyak ulama, cendekiawan dan ahli di berbagai bidang. Mereka melahirkan temuan-temuan spektakuler yang mendahului ilmuwan-ilmuwan Barat puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu.

Sistem Islam memungkinkan mengulang semua itu. Pasalnya, Islam bukan hanya menetapkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga menetapkan sistem kepemilikan yang menetapkan barang-barang tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan ketentuan itu, negara akan selalu memiliki dana yang cukup untuk membiayai pelayanan pendidikan gratis untuk rakyat secara mamadai.
Wahai Kaum Muslim:

Mahalnya biaya sekolah adalah akibat logis dari pemeritahan kapitalis yang menerapkan ideologi Kapitalisme di negeri ini. Selama ideologi Kapitalisme diadopsi dan diterapkan di negeri ini, biaya sekolah mahal akan terus menjadi masalah.

Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa negara wajib memelihara urusan rakyat, termasuk pendidikan. Bahkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali secara gratis. Untuk itu, Islam juga menetapkan sistem ekonomi yang akan menjamin negara bisa selalu membiayai penyediaan pendidikan gratis itu.

Karenanya, untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas, ideologi dan sistem Kapitalisme harus segera dicampakkan, kemudian diganti dengan ideologi dan sistem Islam. Intinya, syariah Islam harus segara ditegakkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, dalam institusi Khilafah. Hanya dengan itulah kita akan mendapatkan kehidupan yang di dalamnya Allah menurunkan berkah dari langit dan bumi. Allah swt berfirman:

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallâhu a’lam. []

Airmata wanita

Fanny Asries Kusfariani November 24 at 10:09am
Seorang anak laki-laki kecil bertanya kepada ibunya "Mengapa ibu menangis?" "Kerana aku seorang wanita", kata sang ibu kepadanya. "Aku tidak mengerti", kata anak itu. Ibunya hanya memeluknya dan berkata, "Dan kau tak akan pernah mengerti" Kemudian anak laki-laki itu bertanya kepada ayahnya, "Mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?" "Semua wanita menangis tanpa alasan", hanya itu yang dapat dikatakan oleh ayahnya. Anak laki-laki kecil itu pun lalu tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa, tetap ingin tahu mengapa wanita menangis. Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya, "Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?" Allah berfirman: "Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia; namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan " "Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya " "Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh " "Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya " "Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya " "Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada disisi suaminya tanpa ragu" "Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk dititiskan dan ini adalah khusus miliknya untuk digunakan bilapun ia perlukan." "Kau tahu;¿kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, susuk yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya." "Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, kerana itulah pintu hatinya.. Tempat dimana cinta itu ada." Kirimkan ini kepada setiap wanita yang anda kenal hari ini untuk memperingati Wanita. Jika Anda lakukan, sesuatu yang baik akan terjadi. Anda akan menambah harga diri wanita! Kirimkan msg ini juga kepada kaum lelaki, supaya mereka sadar dan ingat akan kecantikan wanita mereka yang asli.. bukan pada kecantikan luaran semata-mata. Selamilah hati wanita mu.. dan ingat lah... Setiap Wanita itu Cantik.